Selasa, 26 September 2017

Melaksanakan Budaya Akademika Dalam Islam

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang tepat pada waktunya yang berjudul “MELAKSANAKAN BUDAYA AKADEMIKA DALAM ISLAM”.
Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai budaya akademika dalam islam atau yang lebih khususnya membahas tentang pengertian, makna, dan ciri-ciri budaya akademika dalam sudut pandang islam.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT. Senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.







Surabaya, 12 September 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………… 1
Daftar Isi ………………………………………………………………………. 2
Bab I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………….. 3
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………. 4
1.3 Tujuan Penulisan…………………………………………………………… 4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Pengertian Budaya Akademik …………………………….…………..…. 5
2.2    Pengertian Budaya Akademik dalam Islam ………………………..……. 6
2.3  Pembahasan Tentang Budaya Akademik ……………..…………………. 8
2.4  Kesadaran Kritis Dan Budaya Akademik ……………………………….. 12
BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan ………………………………………………………………. 14
3.2    Saran ……………………………………………………………………... 15
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 16









BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Budaya akademik sebenarnya adalah budaya universal. Artinya, dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik. Membangun budaya akademik bukan perkara yang mudah. Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut. Jika sosialisasi tersebut dilakukan secara kontinu, maka ia akan menjadi sebuah tradisi dan budaya bagi individu-individu dalam masyarakat kampus. Norma-norma akademik merupakan hasil dari proses belajar dan latihan dan bukan merupakan bawaan lahir.
Islam adalah agama yang universal, karena itu masalah-masalah yang ada dalam masyarakat sudah barang tentu diatur di dalam ajaran Islam. Kajian tentang Al Quran serta kandungan ajarannya tampaknya tidak akan pernah selesai dan akan berlanjut sepanjang zaman. Keajaibannya akan senantiasa muncul kepermukaan bagaikan mata air yang tidak pernah kering dan akan selalu menjadi inspirasi kehidupan ummat Islam. Al Quran akan selalu hadir dalam kehidupan yang sarat dengan berbagai persoalan hidup yang dialami oleh umat Islam. Di sinilah letak salah satu keunikan Al Quran itu dan dari sini kita dapat memahami mengapa orang yang mempercayainya tidak akan pernah meragukan validitas ajarannya dan menganggapnya sebagai kebenaran mutlak dan final meski dipihak lain orang yang meragukan dan tidak mempercayainya selalu berupaya untuk meruntuhkan kebenaran Al Quran baik dengan cara halus atau kasar, dibungkus dengan metode ilmiah yang mengandung distorsi atau bahkan hanya dengan hujatan, tanpa mengandung ilmiah yang layak dalam kajian akademis.
Islam sebagai agama rahmatan lil alamin sudah representatif untuk mewujudkan pendidikan multikultural(beragam budaya). Budaya merupakan Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas lebih jauh tentang Budaya Akademik menurut Islam.
1.2    Rumusan Masalah
(1)   Apa pegertian dari budaya akademik?
(2)   Apa makna budaya akademik dalam sudut pandang Islam?
(3)  Bagaimana perkembangan ciri-ciri budaya akademik?

1.3    Tujuan Penulisan
(1)   Untuk mengetahui pengertian budaya akademik.
(2)   Untuk mendeskripsikan bagaimana makna budaya akademik dalam sudut pandang
islam.
(3)  Untuk mengetahui bagaimana perkembangan ciri-ciri budaya akademik.


















BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Budaya Akademik
Budaya akademik (Academic culture), Budaya Akademik dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik, di lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian. Kehidupan dan kegiatan akademik diharapkan selalu berkembang, bergerak maju bersama dinamika perubahan dan pembaharuan sesuai tuntutan zaman.
Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan dan kegiatan akademik menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan yang mengabdikan dan mengaktualisasikan diri melalui dunia pendidikan tinggi dan penelitian, terutama mereka yang menggenggam idealisme dan gagasan tentang kemajuan. Perubahan dan pembaharuan ini hanya dapat terjadi apabila digerakkan dan didukung oleh pihak-pihak yang saling terkait, memiliki komitmen dan rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap perkembangan dan kemajuan budaya akademik.
Budaya akademik sebenarnya adalah budaya universal. Artinya, dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam aktivitas akademik. Membanggun budaya akademik bukan perkara yang mudah. Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk melakukan norma-norma kegiatan akademik tersebut.
Pemilikan budaya akademik ini seharusnya menjadi idola semua insan akademisi perguruaan tinggi, yakni dosen dan mahasiswa. Derajat akademik tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan akademik pada tingkat guru besar (profesor). Sedangkan bagi mahasiswa adalah apabila ia mampu mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya.
Khusus bagi mahasiswa, faktor-faktor yang dapat menghasilkan prestasi akademik tersebut ialah terprogramnya kegiatan belajar, kiat untuk berburu referensi actual dan mutakhir, diskusi substansial akademik, dsb. Dengan melakukan aktivitas seperti itu diharapkan dapat dikembangkan budaya mutu (quality culture) yang secara bertahap dapat menjadi kebiasaan dalam perilaku tenaga akademik dan mahasiswa dalam proses pendidikan di perguruaan tinggi.
Oleh karena itu, tanpa melakukan kegiatan-kegiatan akademik, mustahil seorang akademisi akan memperoleh nilai-nilai normative akademik. Bias saja ia mampu berbicara tentang norma dan nilai-nilai akademik tersebut didepan forum namun tanpa proses belajar dan latihan, norma-norma tersebut tidak akan pernah terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-segan melakukan pelanggaran dalam wilayah tertentu—baik disadari ataupun tidak.
Kiranya, dengan mudah disadari bahwa perguruan tinggi berperan dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang mendasari kemampuan penguasaan IPTEK dan budaya dalam pengertian luas disamping dirinya sendirilah yang berperan untuk perubahan tersebut.

2.2    Pengertian Budaya Akademik dalam Islam
Budaya akademik dalam pandangan Islam adalah suatu tradisi atau kebiasaan yang berkembang dalam dunia Islam menyangkut persoalan keilmuan. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana adalah tradisi ilmiah yang dikembangkan Islam. Di antara poin-poin pentingnya adalah pertama, tentang penghargaan Al-quran terhadap orang-orang yang berilmu, di antaranya adalah:
Wahyu Al-quran yang turun pada masa awal mendorong manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam ayat-ayat yang pertama kali turun Al-'Alaq 96: l-5 tergambar dengan jelas betapa kitab suci Al-quran memberi perhatian yang sangat serius kepada perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga Allah SW'T menurunkan petunjuk pertama kali adalah terkait dengan salah satu cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang dalam redaksi ayat tersebut menggunakan redaksi "iqra" . Makna perintah tersebut bukanlah hanya sebatas membaca dalam arti membaca teks, tetapi makna iqra' adalah membaca dengan melibatkan pemikiran dan pemahaman dan itulah kunci perkembangan ilmu pengetahuan dalam sepanjang sejarah kemanusiaan. Dalam kontek modern sekarang makna iqra' dekat dengan makna reading with understanding (membaca disertai dengan pemahaman).
Tugas Manusia sebagai khalifah Allah di Bumi akan sukses kalau memiliki ilmu pengetahuan. Penggalan ayat 3l dari Surat Al-Baqarah yang berbunyi "Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya", juga mengandung arti bahwa salah satu keistimewaan manusia adalah kemampuannya mengekspresikam apa yang terlintas dalam benaknya serta kemampuannya menangkap bahasa sehingga ini mengantarnya mengetahui. Di sisi lain kemampuan manusia merumuskan ide dan memberikan nama bagi segala sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya manusia yang berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan.
Muslim yang baik tidak pernah berhenti untuk menambah ilmu. Etos untuk terus menambah ilmu pengetahuan dapat diterjemahkan bahwa yang disebut belajar atau menuntut ilmu bukan hanya pada musim tertentu atau dalam formalitas satuan pendidikan tertentu, melainkan sepanjang hayat masih dikandung badan maka kewajiban untuk terus menuntut ilmu tetap melekat dalam diri setiap muslim. Salah satu hikmahnya adalah bahwa kehidupan terus mengalami perubahan dan perkembangan menuju kemajuan, maka kalau seorang muslim tidak terus menambah pengetahuannya jelas akan tertinggal oleh perkembangan zaman yang pada gilirannya tidak dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan. Al-quran jelas membedakan antara orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan.
Orang yang berilmu akan dimuliakan oleh Allah SWT. Secara garis besar manusia dapat dibedakan ke dalam dua kelompok besar; pertama, orang yang sekedar beriman dan beramal, dan yang kedua adalah orang yang beriman dan beramal shalih serta memiliki pengetahuan. Posisi atau derajat kelompok kedua ini lebih tinggi bukan saja karena nilai ilmu yang dimiliki, tetapi juga amal dan usahanya untuk mengajarkan ilmu yang dimiliki tersebut, baik melalui lisan, tulisan atau bahkan tindakan. Ilmu yang dimaksud tentu saja bukan hanya ilmu agama tetapi ilmu apapun yang rnembawa maslahat bagi kehidupan manusia.
Di samping memberikan apresiasi terhadap orang yang berilmu poin penting lain yang dijelaskan Al-quran adalah bahwa:
Iman seorang muslim tidak akan kokoh kalau tidak ditopang dengan ilmu, demikian juga dengan amal shalih.
Tugas kekhalifahan manusia tidak akan dapat sukses kalau tidak dilandasi dengan ilmu.
Karakter seorang muslim yang berbudaya akademik adalah; orang yang selalu mengingat Allah yang disertai dengan ikhtiar untuk selalu menggunakan akalnya untuk memikirkan ciptaan Allah SWT. Serta selalu berusaha menambah ilmu dengan membuka diri terhadap setiap informasi yang baik dan kemudian memilih yang terbaik untuk dijadikan pegangan dan diikutinya.

2.3  Pembahasan Tentang Budaya Akademik
Dari berbagai Forum terbuka tentang pembahasan Budaya Akademik yang berkembang d Indonesia, menegaskan berbagai macam pendapat di antaranya :
Konsep dan Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik
Dalam situasi yang sarat idealisme, rumusan konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik yang disepakati oleh sebagian besar (167/76,2%) responden adalah “Budaya atau sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis; rasional dan obyektif oleh warga masyarakat akademik” Konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung perumusan karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-ciri Perkembangan Budaya Akademik” yang meliputi berkembangnya :
1)      Penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif.
2)      Pemikiran rasional dan kritis-analitis dengan tanggungjawab moral.
3)      Kebiasaan membaca.
4)      Penambahan ilmu dan wawasan.
5)      Kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat.
6)      Penulisan artikel, makalah, buku.
7)      Diskusi ilmiah.
8)      Proses belajar-mengajar.
9)      Manajemen perguruan tinggi yang baik.

Tradisi Akademik
Pemahaman mayoritas responden (163/74,4%) mengenai Tradisi Akademik adalah, “tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa seperti menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif di lingkungan akademik”.
Perguruan tinggi sebagai suatu institusi dalam masyarakat memiliki ciri khas tersendiri di samping lapisan-lapisan masyarakat lainnya. Warga dari suatu perguruan tinggi adalah insan-insan yang memiliki wawasan dan integritas ilmiah. Oleh karena itu masyarakat akademik harus senantiasa mengembangkan budaya ilmiah yang merupakan esensi pokok dari aktivitas perguruan tinggi (Kaelan, 2004). Terdapat sejumlah ciri masyarakat ilmiah yang harus dikembangkan dan merupakan budaya dari suatu masyarakat akademik, yang terdiri dari :
Kritis, yang berarti setiap insan akademis harus senantiasa mengembangkan sikap ingin tahu segala sesuatu untuk selanjutnya diupayakan jawaban dan pemecahannya melalui suatu kegiatan ilmiah penelitian.
Kreatif, yang berarti setiap insan akademis harus senantiasa mengembangkan sikap inovatif, berupaya untuk menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi masyarakat.
Obyektif, yang berarti kegiatan ilmiah yang dilakukan harus benar-benar berdasarkan pada suatu kebenaran ilmiah, bukan karena kekuasaan, uang atau ambisi pribadi.
Analitis,  yang berarti suatu kegiatan ilmiah harus dilakukan dengan suatu metode ilmiah yang merupakan suatu prasyarat untuk tercapainya suatu kebenaran ilmiah.
Konstruktif, yang berarti suatu kegiatan ilmiah yang merupakan budaya akademik harus benar-benar mampu mewujudkan suatu karya baru yang memberikan asas kemanfaatan bagi masyarakat.
Dinamis, yang berarti ciri ilmiah sebagai budaya akademik harus dikembangkan terus-menerus.
Dialogis, artinya dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat akademik harus memberikan ruang pada peserta didik untuk mengembangkan diri, melakukan kritik serta mendiskusikannya.
Menerima kritik, ciri ini sebagai suatu konsekuensi suasana dialogis yaitu setiap insan akademik senantiasa bersifat terbuka terhadap kritik.
Menghargai prestasi ilmiah/akademik, masyarakat intelektual akademik harus menghargai prestasi akademik, yaitu prestasi dari suatu kegiatan ilmiah.
Bebas dari prasangka, yang berarti budaya akademik harus mengembangkan moralitas ilmiah yaitu harus mendasarkan kebenaran pada suatu kebenaran ilmiah.
Menghargai waktu,  yang berarti masyarakat intelektual harus senantiasa memanfaatkan waktu seefektif dan seefisien mungkin,  terutama demi kegiatan ilmiah dan prestasi.
Memiliki dan menjunjung tinggi tradisi ilmiah, yang berarti masyarakat akademik harus benar-benar memiliki karakter ilmiah sebagai inti pokok budaya akademik.
Berorientasi ke masa depan,  artinya suatu masyarakat akademik harus mampu mengantisipasi suatu kegiatan ilmiah ke masa depan dengan suatu perhitungan yang cermat, realistis dan rasional.
Kesejawatan/kemitraan, artinya suatu masyarakat ilmiah harus memiliki rasa persaudaraan yang kuat untuk mewujudkan suatu kerja sama yang baik.
Oleh karena itu budaya akademik senantiasa memegang dan menghargai  tradisi almamater sebagai suatu tanggung jawab moral masyarakat intelektual akademik.

Kebebasan Akademik
Pengertian tentang “Kebebasan Akademik” yang dipilih oleh 144 orang (65,7%) responden adalah kebebasan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota sivitas akademika (mahasiswa dan dosen) untuk bertanggung jawab dan mandiri yang berkaitan dengan upaya penguasaan dan pengembangan Iptek dan seni yang mendukung pembangunan nasional. Kebebasan akademik meliputi kebebasan menulis, meneliti, menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis (Kistanto, et. al., 2000: 86).
“Kebebasan Akademik” berurat-berakar mengiringi tradisi intelektual masyarakat akademik – tetapi kehidupan dan kebijakan politik acapkali mempengaruhi dinamika dan perkembangannya. Dalam rezim pemerintahan yang otoriter, kiranya kebebasan akademik akan sulit berkembang. Dalam kepustakaan internasional kebebasan akademik dipandang sebagai inti dari budaya akademik dan berkaitan dengan kebebasan berpendapat (lihat CODESRIA 1996, Forum 1994, Daedalus Winter 1997, Poch 1993, Watch 1998, Worgul 1992).
Dalam masyarakat akademik di Indonesia, kebebasan akademik yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat telah mengalami penderitaan yang panjang, selama puluhan tahun diwarnai oleh pelarangan dan pembatasan kegiatan akademik di era pemerintahan Suharto (lihat Watch 1998). Kini kebebasan akademik telah berkembang seiring terjadinya pergeseran pemerintahan dari Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang begitu bebas pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, bahkan hampir tak terbatas dan “tak bertanggungjawab,” sampai pada pemerintahan Megawati, yang makin sulit mengendalikan perkembangan kebebasan berpendapat.
Selain itu, kebebasan akademik kadangkala juga berkaitan dengan sikap-sikap dalam kehidupan beragama yang pada era dan pandangan keagamaan tertentu menimbulkan hambatan dalam perkembangan kebebasan akademik, khususnya kebebasan berpendapat.
Dapat dikatakan bahwa kebebasan akademik suatu masyarakat-bangsa sangat tergantung dan berkaitan dengan situasi politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh para penguasa. Pelarangan dan pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat perkembangan kebebasan akademik pada lazimnya meliputi :
1.      Penerbitan buku tertentu.
2.      Pengembangan studi tentang ideologi tertentu.
3.  Pengembangan kegiatan kampus, terutama demonstrasi dan diskusi yang bertentangan dengan ideologi dan kebijakan pemerintah atau negara.

2.4  Kesadaran Kritis Dan Budaya Akademik
Merujuk pada redaksi UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI bagian ke empat pasal 19 bahwasanya mahasiswa itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/ murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan secara harfiah, “mahasiswa” terdiri dari dua kata, yaitu Maha yang berarti tinggi dan Siswa  yang berarti subyek pembelajar sebagaimana pendapat Bobbi de porter, jadi kaidah etimologis menjelaskan pengertian mahasiswa sebagai pelajar yang tinggi atau seseorang yang belajar di perguruan tinggi/ universitas.
Namun jika kita memaknai mahasiswa sebagai subyek pembelajar saja, amatlah sempit sebab meski diikat oleh suatu definisi study, akan tetapi mengalami perluasan makna mengenai eksistensi dan peran yang dimainkan dirinya. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, mahasiswa tidak lagi diartikan hanya sebatas subyek pembelajar (study), akan tetapi ikut mengisi definisi learning. Mahasiswa adalah seorang pembelajar yang tidak hanya duduk di bangku kuliah kemudian mendengarkan tausiyah dosen, lalu setelah itu pulang dan menghapal di rumah untuk menghadapi ujian tengah semester atau Ujian Akhir semester. Mahasiswa dituntut untuk menjadi seorang simbol pembaharu dan inisiator perjuangan yang respect dan tanggap terhadap isu-isu sosial serta permasalahan umat manusia.
Apabila kita melakukan kilas balik, melihat sejarah, peran mahasiswa acapkali mewarnai perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari penjajahan hingga kini masa reformasi. mahasiswa bukan hanya menggendong tas yang berisi buku, tapi mahasiswa turut angkat senjata demi kedaulatan bangsa Indonesia. Dan telah menjadi rahasia umum, bahwasanya mahasiswa lah yang menjadi pelopor restrukturisasi tampuk kepemimpinan NKRI pada saat reformasi 1998. Peran yang diberikan mahasiswa begitu dahsyat, sehingga sendi-sendi bangsa yang telah rapuh, tidak lagi bisa ditutup-tutupi oleh rezim dengan status quonya, tetapi bisa dibongkar dan dihancurkan oleh Mahasiswa.
Mencermati alunan sejarah bangsa Indonesia, hingga kini tidak terlepas dari peran mahasiswa, oleh karena itu mahasiswa dapat dikategorikan sebagai Agent of social change ( Istilah August comte) yaitu perubah dan pelopor ke arah perbaikan suatu bangsa. Kendatipun demikian, paradigma semacam ini belumlah menjadi kesepakatan bersama antar mahasiswa (Plat form ), sebab masih ada sebagian madzhab mahasiswa yang apriori ( cuek ) terhadap eksistensi dirinya sebagai seorang mahasiswa, bahkan ia tak mau tahu menahu tentang keadaan sekitar lingkungan masyarakat ataupun sekitar lingkungan kampusnya sendiri. Yang terpenting buat mereka adalah duduk dibangku kuliah menjadi kambing conge dosen, lantas pulang duluan ke rumah.
Inikah mahasiswa? Padahal, mahasiswa adalah sosok yang semestinya kritis, logis, berkemauan tinggi, respect dan tanggap terhadap permasalahan umat dan bangsa, mau bekerja keras, belajar terus menerus, mempunyai nyali (keberanian yang tinggi) untuk menyatakan kebenaran, aplikatif di lingkungan masyarakat serta spiritualis dan konsisten dalam mengaktualisasikan nilai-nilai ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan Konsep itulah, mahasiswa semestinya bergerak dan menyadari dirinya akan eksistensi ke-mahahasiswaan nya itu. Belajar tidaklah hanya sebatas mengejar gelar akademis atau nilai indeks prestasi ( IP ) yang tinggi dan mendapat penghargaan cumlaude, lebih dari itu mahasiswa harus bergerak bersama rakyat dan pemerintah untuk membangun bangsa, atau paling tidak dalam lingkup yang paling mikro, ada suatu kemauan untuk mengembangkan civitas/ perguruan tinggi dimana ia kuliah. Misalnya dengan ikut serta/ aktif di Organisasi Mahasiswa, baik itu Organisasi intra kampus ( BEM dan UKM ) ataupun Organisasi Ekstra kampus, serta aktif dalam kegiatan-kegiatan lain yang mengarah pada pembangunan bangsa.


BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Budaya akademik dalam pandangan Islam adalah suatu tradisi atau kebiasaan yang berkembang dalam dunia Islam menyangkut persoalan keilmuan. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana adalah tradisi ilmiah yang dikembangkan Islam. Di antara poin-poin pentingnya adalah pertama, tentang penghargaan Al-quran terhadap orang-orang yang berilmu, di antaranya adalah:
Wahyu Al-quran yang turun pada masa awal mendorong manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Tugas Manusia sebagai khalifah Allah di Bumi akan sukses kalau memiliki ilmu pengetahuan.
Muslim yang baik tidak pernah berhenti untuk menambah ilmu.
Orang yang berilmu akan dimuliakan oleh Allah SWT.
Di samping memberikan apresiasi terhadap orang yang berilmu poin penting lain yang dijelaskan Al-quran adalah bahwa:
Iman seorang muslim tidak akan kokoh kalau tidak ditopang dengan ilmu, demikian juga dengan amal shalih.
Tugas kekhalifahan manusia tidak akan dapat sukses kalau tidak dilandasi dengan ilmu.
Karakter seorang muslim yang berbudaya akademik adalah; orang yang selalu mengingat Allah yang disertai dengan ikhtiar untuk selalu menggunakan akalnya untuk memikirkan ciptaan Allah SWT. Serta selalu berusaha menambah ilmu dengan membuka diri terhadap setiap informasi yang baik dan kemudian memilih yang terbaik untuk dijadikan pegangan dan diikutinya.
Budaya akademik akan dapat terwujud dengan syarat sikap-sikap positif serta kesadaran juga dimiliki.

3.2    Saran
Berdasarkan simpulan diatas, kepada pembaca khususnya para mahasiswa untuk menuntut dan mengamalkan budaya akademis yang harus kita dasar dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt agar dapat memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan serta lingkungan sekitar kita.















DAFTAR PUSTAKA
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Fajar. Mahasiswa dan Budaya Akademik. 2002. Bandung, Rineka.
Kaelan, M,S. Pendidikan Pancasila. Edisi 8. 2004. Yogyakarta: Paradigma
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi;
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 178/U/2001 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Pendidikan Tinggi
Asy’arie, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Alquran. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.
Audah, Ali (et all). Membangun Kembali Pikiran Agama Islam. Jakarta: Tintamas, 1992.