Di
negeri Belanda tahun 1850-1860 sering terjadi perdebatan tentang untung ruginya
dan baik buruknya tanam paksa. Golongan yang menyetujui tanam paksa terdiri
dari pegawai-pegawai pemerintah dan pemegang perusahaan Nederlandsche
Handel Maatschappy (NHM).
Perusahaan NHM ini selama berlakunya tanam paksa mendapat hak monopoli untuk
mengangkut hasil tanam paksa dari Indonesia ke Eropa.
Golongan
yang menentang tanam paksa terdiri dari mereka yang merasa iba mendengar kedaan
petani Indonesia yang menderita akibat
tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan
perikemanusiaan. Mereka ialah golongan
menengah yang terdiri dari pengusaha dan
pedagang swasta. Mereka tidak dapat menerima keadaan dimana pemerintah saja
yang memegang kegiatan ekonomi. Mereka
juga menghendaki diberi kesempatan untuk berusaha dengan menanam modal di
Indonesia. Golongan ini disebut kaum liberal.
Pada
tahun 1870 di Indonesia dilaksanakan politik kolonial liberal atau sering
disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak saat itu pemerintahan
Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha swasta asing untuk menenamkan modalnya, khususnya
di bidang perkebunan. Oleh karena itu, pihak swasta boleh menyewanya dalam
jangka waktu antara 50-75 tahun di luar tanah-tanah yang digunakan oleh
penduduk untuk bercocok tanam.
Sistem ekonomi kolonial antara tahun 1870 dan
1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme. Yang dimaksudkan disini adalah
bahwa pada masa itu untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, modal swasta
diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan diIndonesia, khususnya
perkebunan -perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Pelaksanaan politik
liberal ditandai dengan keluarnya undang-undang agraria dan undang-undang gula.
A. Undang-Undang
Agraria (Agrarische Wet) 1870
Undang-undang ini merupakan sendi dari peraturan hukum agraria kolonial
Indonesia yang berlangsung dari 1870-1960. peraturan itu dihapus dengan
dikeluarkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960) oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Dikeluarkannya UU Agraria ini mempunyai tujuan
yaitu:
1) Memberi kesempatan dan jaminan kepada
swasta
asing (Eropa) untuk
membuka usaha dalam bidang
perkebunan di
Indonesia.
2) Melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak
hilang (dijual).
Wet tercantum
dalam pasal 51 dari Indische Staatsregeling, yang merupakan peraturan pokok dari undang-undang Hindia
Belanda. Menteri jajahan Belanda De Waal, berjasa menciptakan wet yang isinya
yaitu:
Pasal 1 : Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah.
Pasal 2 : Gubernur jenderal boleh menyewakan tanah
menurut peraturan undang-undang.
Pasal 3 : Dengan peraturan undang-undang akan
diberikan tanah-tanah dengan hak erfpacht
yaitu hak pengusaha untuk
dapat menyewa
tanah dari gubernemen paling lama 75 tahun,
dan seterusnya.
UU
Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka
Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin.
Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah,
bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke
tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat
diekspor ke Eropa.
B. Undang-Undang Gula (Suiker Wet)
Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa tebu tidak boleh diangkat keluar
Indonesia, tetapi harus diproses di dalam negeri. Tujuannya adalah untuk
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan gula.
Isi dari UU ini yaitu:
1) Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah
akan dihapus secara bertahap,
dan
2) Pada tahun 1891 semua perusahaan gula milik
pemerintah harus sudah diambil alih
oleh
swasta.
Dalam
tahun 1888 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai
persyaratan hubungan kerja kuli kontrak di Sumatera Timur yang disebut Koelie
Ordonnantie. Koelie Ordonnantie ini yang mulanya hanya berlaku untuk Sumatera Timur tetapi
kemudian berlaku pula di semua wilayah Hindia Belanda di luar Jawa. Untuk
memperkuat peraturan-peraturan dalam Koelie Ordonnantie, dimasukkan pula peraturan
mengenai hukuman-hukuman yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran.
Ancaman hukuman yang dapat dikenakan pada pekerja-pekerja
perkebunan yang melanggar ketentuan-ketentuan kontrak kerja kemudian terkenal
sebagai poenale sanctie. Poenale sanctie membuat
ketentuan bahwa pekerja-pekerja yang melarikan diri dari perkebunan-perkebunan
Sumatera Timur dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan
dengan kekerasan jika mereka mengadakan perlawanan. Pada akhir abad ke-19 di
negeri Belanda mulai timbul kontroversi mengenai Poenale Sanctie. Akibatnya,
pemerintah Hindia Belanda Mulai mengadakan usaha-usaha untuk memperbaiki
keadaan di lingkungan para pekerja Sumatera Timur.
Dengan
adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan
modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan. Berikut
ini beberapa perkebunan asing yang muncul di Indonesia
:
1) Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra
Utara.
2) Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
3) Perkebunan kina di Jawa Barat.
4) Perkebunan karet di Sumatra
Timur.
5) Perkebunan kelapa sawit di Sumatera
Utara.
6) Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatera Utara.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar