Minggu, 02 Juni 2013

Pelaksanaan Politik Kolonial Liberal


Di negeri Belanda tahun 1850-1860 sering terjadi perdebatan tentang untung ruginya dan baik buruknya tanam paksa. Golongan yang menyetujui tanam paksa terdiri dari pegawai-pegawai pemerintah dan pemegang perusahaan Nederlandsche Handel Maatschappy (NHM). Perusahaan NHM ini selama berlakunya tanam paksa mendapat hak monopoli untuk mengangkut hasil tanam paksa dari Indonesia ke Eropa.
Golongan yang menentang tanam paksa terdiri dari mereka yang merasa iba mendengar kedaan petani Indonesia yang menderita akibat  tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan perikemanusiaan.  Mereka ialah golongan menengah yang  terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta. Mereka tidak dapat menerima keadaan dimana pemerintah saja yang memegang kegiatan ekonomi. Mereka juga menghendaki diberi kesempatan untuk berusaha dengan menanam modal di Indonesia. Golongan ini disebut kaum liberal. 
Pada tahun 1870 di Indonesia dilaksanakan politik kolonial liberal atau sering disebut “politik pintu terbuka” (open door policy). Sejak saat itu pemerintahan Hindia Belanda membuka Indonesia bagi para pengusaha swasta asing untuk menenamkan modalnya, khususnya di bidang perkebunan. Oleh karena itu, pihak swasta boleh menyewanya dalam jangka waktu antara 50-75 tahun di luar tanah-tanah yang digunakan oleh penduduk untuk bercocok tanam.
Sistem ekonomi kolonial antara tahun 1870 dan 1900 pada umumnya disebut sistem liberalisme. Yang dimaksudkan disini adalah bahwa pada masa itu untuk pertama kalinya dalam sejarah kolonial, modal swasta diberi peluang sepenuhnya untuk mengusahakan kegiatan diIndonesia, khususnya perkebunan -perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa. Pelaksanaan politik liberal ditandai dengan keluarnya undang-undang agraria dan undang-undang  gula.

A. Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870

Undang-undang ini merupakan sendi dari peraturan hukum agraria kolonial Indonesia yang berlangsung dari 1870-1960. peraturan itu dihapus dengan dikeluarkannya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960) oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dikeluarkannya UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:
1)  Memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta 
      asing (Eropa) untuk membuka usaha dalam bidang  
      perkebunan di Indonesia.
2)  Melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak 
      hilang (dijual). 


Wet tercantum dalam pasal 51 dari Indische Staatsregeling, yang merupakan peraturan pokok dari undang-undang Hindia Belanda. Menteri jajahan Belanda De Waal, berjasa menciptakan wet yang isinya yaitu:

Pasal 1 : Gubernur jenderal tidak boleh menjual tanah.
Pasal 2 : Gubernur jenderal boleh menyewakan tanah 
       menurut peraturan undang-undang. 
Pasal 3 : Dengan peraturan undang-undang akan 
       diberikan tanah-tanah dengan hak erfpacht 
       yaitu hak pengusaha untuk dapat menyewa 
       tanah dari gubernemen paling lama 75 tahun,
       dan seterusnya.


UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.




B.  Undang-Undang Gula (Suiker Wet)

Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa tebu tidak boleh diangkat keluar Indonesia, tetapi harus diproses di dalam negeri. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan gula. Isi dari UU ini yaitu:
1)  Perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah 
      akan dihapus secara bertahap, dan
2)  Pada tahun 1891 semua perusahaan gula milik
      pemerintah harus sudah diambil alih oleh 
      swasta.

Dalam tahun 1888 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai persyaratan hubungan kerja kuli kontrak di Sumatera Timur yang disebut Koelie Ordonnantie. Koelie Ordonnantie ini yang mulanya hanya berlaku untuk Sumatera Timur tetapi kemudian berlaku pula di semua wilayah Hindia Belanda di luar Jawa. Untuk memperkuat peraturan-peraturan dalam Koelie Ordonnantie, dimasukkan pula peraturan mengenai hukuman-hukuman yang dapat dikenakan terhadap pelanggaran.
Ancaman hukuman yang dapat dikenakan pada pekerja-pekerja perkebunan yang melanggar ketentuan-ketentuan kontrak kerja kemudian terkenal sebagai poenale sanctie. Poenale sanctie membuat ketentuan bahwa pekerja-pekerja yang melarikan diri dari perkebunan-perkebunan Sumatera Timur dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa kembali ke perkebunan dengan kekerasan jika mereka mengadakan perlawanan. Pada akhir abad ke-19 di negeri Belanda mulai timbul kontroversi mengenai Poenale Sanctie. Akibatnya, pemerintah Hindia Belanda Mulai mengadakan usaha-usaha untuk memperbaiki keadaan di lingkungan para pekerja Sumatera Timur.
Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan. Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul di Indonesia :
1)    Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
2)    Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3)    Perkebunan kina di Jawa Barat.
4)    Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5)    Perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara.
6)    Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatera Utara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar